MOTTO

"Non Scholae, sed Vitae Discimus"

Non scholae, sed vitae discimus, belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup. Pepatah Latin kuno tersebut diucapkan oleh Seneca ( 4 seb. M – 65 ), seorang filsuf dan pujangga Romawi, dalam buku Epistulae morales ad Lucilium 106, 11–12. Mungkin pepatah kuno ini cukup asing di telinga beberapa orang. Mungkin pepatah tersebut tak mudah pula dipahami maksudnya. Namun, pepatah tersebut memiliki makna yang masih relevan dengan kehidupan abad ini.

Sekarang ini, setiap orang berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik di manapun ia berada. Di dalam dunia pendidikan, label “terbaik” biasanya disematkan kepada siswa atau mahasiswa yang memiliki prestasi baik dalam studinya. Tak jarang, demi terlihat berprestasi, pelajar menghalalkan segala cara, termasuk salah satunya dengan menyontek. Sebuah survei di Amerika Serikat menyatakan bahwa 80 persen remaja dengan rangking tertinggi di kelas mereka mengaku menyontek dan 95 persen dari “siswa berprestasi“ ini tidak pernah ketahuan oleh guru. Dari hasil survei ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hampir semua orang yang duduk di bangku sekolah pernah menyontek.

Ini bukan tentang berapa kali kita menyontek. Bukan pula tentang dosa yang dilakukan karena meniru pekerjaan orang lain. Yang perlu menjadi perhatian adalah jika sekolah hanya menjadi lahan mencari nilai, lalu apa arti ilmu yang didapat? Jika pendidikan hanya berbicara mengenai prestasi, lalu apa esensi dari pendidikan?

Bukankah pendidikan seharusnya mengembangkan secara seimbang unsur pribadi manusia: jasmani, rohani, intelektual, estetika dan sosial yang diarahkan pada satu tujuan yaitu untuk memanusiakan manusia? Jika prestasi yang diperoleh adalah hasil kecurangan, apa yang sebenarnya didapatkan? Apakah itu berguna untuk hidup kita kelak?

Perlu diakui, sistem pendidikan saat ini memang tidak baik. Fokus pembelajaran yang seharusnya berupaya untuk mengembangkan diri dan melatih ketrampilan untuk meningkatkan kualitas hidup telah bergeser untuk tujuan semu, yakni mendapatkan nilai yang baik dan dianggap berprestasi. Hasil itu penting, tetapi proses pembelajaran yang ditempuh demi meraih hasil tersebut juga tidak kalah penting. Setiap proses yang dilalui akan memberikan nilai dan refleksi yang mendalam bagi kehidupan. Maka, tanpa melalui proses, tidak ada yang kita dapatkan untuk hidup.

Kegiatan menyontek sebagai cara memperoleh hasil tanpa melalui proses terus mengakar, membudaya, dan saat ini hal tersebut dianggap “wajar” bagi sebagian orang. Hingga muncul pernyataan bahwa jika tidak menyontek, kita akan ketinggalan dari yang lain. Kalau sudah begini, siapa yang patut disalahkan? Bukan, bukan sepenuhnya salah siswa.

Memang sistem pendidikan yang lebih menghargai hasil dibanding proses secara tidak langsung memaksa kita untuk berlomba mendapatkan hasil yang dipandang baik. Namun, mau sampai kapan sistem ini dipertahankan? Tanpa disadari, selain mengajak pelajar untuk fokus kepada hasil ketimbang proses, sistem ini juga menumpulkan daya kreatif siswa dalam belajar, mengeringkan semangat belajar dan keingintahuan siswa.

Ingin sistem ini berubah? Renungkan terlebih dahulu selama ini kita belajar untuk sekolah atau untuk hidup? Tak perlu muluk-muluk mengubah sistem yang ada. Mulai dari diri sendiri, sadari apa yang menjadi kebutuhan belajar kita dan jadilah pelajar yang tak mengesampingkan proses demi hasil yang gemilang. Karena sejatinya, seperti yang sudah sering kita dengar, hasil tidak akan pernah mengkhianati proses.